DENGAN OVO & GOPAY ? ATAU VIA PULSA ? AYO RASAKAN !! BERMAIN JUDI ONLINE FAIR PLAY NO.1 SEINDONESIA !! HANYA DI POKER757 !!.

Dari Teman Akrab Menjadi Saling Lahap Penuh Nikmat

No Comments
Dari Teman Akrab Menjadi Saling Lahap Penuh Nikmat
 

           Cersex - Akhir-akhir ini aku sering jalan bersama Dina, salah satu temen di kampus. Mulai dari nonton acara seni budaya, main-main ke museum dan nonton film bersama. 

Sebenarnya kami sudah kenal sekitar 3 tahunan di salah satu kegiatan kampus dan setelah itu kita menjadi temen akrab.

Malam itu kita baru saja selesai menonton acara budaya sunda di salah satu gedung pertunjukan di Bandung. Dengan menggunakan motor, aku langsung mengantarkan Dina pulang ke rumah.


"Eh Fer, aku mau copy film-film yang kemarin kamu ceritain itu dong..", kata Dina ketika kita udah di jalan.

"Kamu mau mampir? Bawa hardisk gak?", tanyaku. 

Oh iya, Sampai lupa perkenalkan namaku Ferry.

"Iya bawa kok.."


Lantas aku melajukan motor menuju rumah kontrakan. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang ringan. Tidak jarang Dina merapatkan duduknya sehingga bagian dadanya menempel di punggungku.

Dina tergolong cewek yang manis, pinter dan tau gimana harus berpenampilan. Seperti sekarang ini, dia menggunakan kerudung berwarna merah marun, dibalut kemeja garis-garis serasi dengan kerudungnya dan celana jins hitam. Walaupun memakai kerudung, dia tetap tampil modis.

"Waaah, lampunya kok gak pada dinyalain sih..", kataku ketika sampai di depan rumah kontrakan.

"Pada kemana nih anak-anak?" Tanya Dina

"Kayaknya lagi di rumah Ryan deh. Yuk Masuk Din..."

Rumah kontrakanku ada 3 kamar dan teman-teman yang mengontrak ini juga mengenal Dina dengan baik. Aku langsung mengganti pakaian kemudian membawa laptop ke ruang tengah. Kita duduk lesehan karena memang tidak ada kursi atau sofa di rumah kontrakanku ini.

"Nih film-film yang kemarin aku ceritain ke kamu.."

"Ya udah, di-copy aja ke hardisk aku Fer...", jawab Dina. 

"Lama nyoo...", kata Dina ketika proses copy itu lambat sekali berpindah. 

Kemudian dia mengambil air minum dari dispenser yang ada di dapur.

"Sambil nonton film yang lain dulu aja Din, mau?". Ajakku

Dia lantas duduk lagi disampingku. Sekitar 2 jam, filmnya selesai juga. Sebenernya copy filmnya juga sudah selesai dari lama tapi karena film yang kita tonton seru, jadi lupa waktu. Jam  sudah menunjukkan pukul 23.40.

"Kamu mau dianterin sekarang?".

Dina tidak langsung jawab, dia masih melihat layar ponselnya.

"Aku nginep sini aja ya, udah kemalaman juga mau pulang..", jawab Dina agak lama.

"Oh ya udah, tidur di kamar aku aja..", kata gue sambil senyum.

"Terus.. Ferry tidur dimana ntar?", tanya Dina. 

"Iya, gampang.... ntar Aku tidur di sini aja..", kataku sambil menunjuk kasur lipat yang diruang tengah.

Dina pun tersenyum dan masuk kamar untuk istirahat. Aku tidak memiliki pikiran macam-macam soal Dina kala itu. Kedekatan kita hanya sebatas teman. Perihal melepas jilbab ketika sedang bersama aku juga tidak masalah menurut dia. Lagipula aku sudah mengenalnya sebelum dia menggunakan jilbab.

"Cekreeeeek..."

Aku yang masih menonton pertandingan sepakbola sejenak memperhatikan Dina yang keluar dari kamar.

"Kenapa Din?"

Dia telah melepas jilbabnya dan kemeja yang dikenakan tadi, sehingga hanya menggunakan kaos dan celana jins.

"Belum bisa tidur Fer", kata Dina sambil duduk di sampingku.

"Ya udah, ikutan nonton bola aja. Ntar juga ngantuk sendiri kamu", jelasku kepada Dina sambil tersenyum. 

Hanya tawa kecil yang terlihat dari bibirnya. Pertandingan Liga Italia memang berbeda dengan Liga Inggris. Permainan yang lebih lambat kadang membuat penonton bosan dan ujung-ujungnya ngantuk. Setengah jam berlalu belum ada peluang emas di pertandingan namun aku mendapatkan peluang emas itu.

Dina menyandarkan kepalanya di pundakku. Baru kali ini dia bertingkah seperti itu. Aku memperhatikan wajahnya yang memang mulai mengantuk, matanya sayu.

"Dina.. pindah kamar gih, tidur di dalam aja", kataku sambil dengan sopan memegang tangannya.

"Iya Fer. Pertandingannya beneran bikin ngantuk..", jawabnya. 

Tanganku tidak di tepis olehnya. Dina beranjak dari duduknya dengan tetap memegang tanganku.

"Temenin yuk Fer..", pintanya, sedikit memaksa.

"Eh,.. seriusan? Gak pa-pa?", Tanyaku sangking tidak percaya. 

Dina malah tambah menarikku menuju kamarku sendiri. Lantas dia merebahkan tubuhnya di sisi kasur yang dekat tembok. Aku yang masih tidak percaya hanya berdiri. Masih ada sisi luar kasur yang bisa aku pakai. Namun aku tidak berani mengambil inisiatif dengan langsung merebahkan badanku di situ.

"Ferry sini aja...", kata Dina sambil menepuk kasur, menunjukkan kalau aku boleh tidur di situ juga. 

Dina sepertinya paham kalau aku merasa tidak enak sekamar dengan dia walaupun sebenarnya ini adalah kamarku sendiri.

"Kamu kenapa? Takut tidur sendiri?", tanyaku sambil menatap langit-langit kamar. 

Dina hanya menggangguk dan kemudian terus menatapku yang tidur di kirinya.

"Fer...", panggil Dina. 

Mata kita langsung saling berpandangan. Dina mendekatkan kepalanya kemudian bibirnya menyentuh bibirku. Ciuman itu terasa hangat dan lembab.

"Kenapa Din?", aku sebenarnya agak kaget dan langsung bertanya ketika mulut kita berhenti berciuman.

"Efek nonton film tadi Fer, pas adegan romantisnya jadi pengen..", jawab Dina sambil merapatkan badannya. 

Aku tersenyum mendengar itu.

"Efek kelamaan jomblo juga yah?", sindirku.

"Ihhh... Ferryyy...", Dina memukul tanganku. 

Kemudian aku mencium bibirnya lagi. Kali ini tidak seperti yang tadi, lebih lama dan saling menyedot. Aku mulai meraba dada Dina yang dari tadi udah menempel di lenganku. walau Masih terbungkus bra tapi terasa padat dan empuk.


"Uuuhhh...", suara itu keluar dari sela-sela mulut Dina. 

Dia juga tidak mau kalah meraba bagian selangkanganku. Kita udah sama-sama makin bernafsu. Kaos yang kita kenakan sudah tergeletak disamping kasur. Dina kemudian membuka bra nya sendiri.

"Woow...!", aku bergumam melihat payudara bulat yang tergantung bebas didepan mata. 

Tanpa menunggu lama, aku meremas dengan lembut kedua payudara Dina yang memiliki putting mungil berwarna coklat itu.

"Aaaahhh... Feeerrr...", Dina mendesah. 

Aku menjiliat puttingnya yang kanan sambil memintir puttingnya yang sebelah kiri.

"Teruuus Feeerr... enaaaak...", Dina mulai mendesah sambil mengacak-acak rambutku. 

Kemudian tangannya mencoba meraih penisku.

"Uuuhhh.. enak Diiinn...", desahku merasakan lembutnya tangan Dina. 

Aku masih tetep meremas payudara Dina. Tapi setelah itu, aku mencoba membuka celana dalam Dina.

"Boleh dibuka Din?".

Dina menghentikan kocokannya dan melihat gue.

"Takut Fer...",

"Kenapa? Kamu masih perawan?", tanyaku penasaran.

"Sebenernya dulu sudah sering begituan sama pacar aku, cuma gak sampai dimasukin. Biasanya digesek-gesekin aja, petting doang..", jelas Dina.

Kemudian dia mencium pipiku. 

"Gak pa-pa kan Fer kalo cuma digesekin?", tanya Dina.

Bagai mendapat durian runtuh, aku tersenyum dan mengangguk. Dina lantas melepas sendiri celana dalamnya. Aku melihat bentuk vagina yang indah dengan rambut yang tidak begitu lebat. Bagian klitorisnya masih tertutup rapat.

Dina beranjak berdiri dan menindih badanku berlawanan arah. Setelah mengatur posisi supaya nyaman, Lahapan Dina pada penisku buat aku melenguh duluan. 

"Uuuuhhhhh... Dinaaaa...",

Dina sudah melahap penisku bagaikan es krim. Penisku terasa hangat di dalam mulutnya. Tangan kiri Dina juga mengocok penisku. Variasi blowjob yang dilakukan Dina membuatku sedikit lupa kalau di depan mukaku terdapat vaginanya juga.

Tidak mau kalah, akhirnya aku mulai memainkan jari-jariku di vagina Dina. Kubuka bagian klitoris yang masih tertutup rapat dan ketika sudah terlihat daging kecil menonjol itu lantas ku elus pelan.

"Aaahhhh...", suara lenguhan Dina tiba-tiba terdengar. 

Tidak berhenti sampai di situ, aku mulai menjilati vaginanya. Desahan Dina makin menjadi-jadi. Selain menjilat terkadang aku menyedot dan memasukkan lidahku ke dalam vaginanya. Akhirnya vagina Dina semakin basah, tidak hanya karena ludahku tapi juga cairannya mulai keluar.

Setelah merasa cukup dengan posisi 69, Dina beranjak dan merebahkan badannya di sampingku. Nafasnya sedikit terengah-engah. Bibirnya menyunggingkan senyum. Mungkin itu semacam kode untukku agar aku melanjutkan aksi ini.

Aku mulai menciumi wajahnya mulai dari kening, hidung, dan bibirnya. Kemudian turun menuju puncak payudaranya. Puttingnya sudah tegang maksimal. Dina begitu menikmati semua perlakuanku terhadap tubuhnya. Matanya terpejam namun bibirnya sedikit terbuka, dan kadang desahan-desahan kecil keluar dari mulutnya.

Perlahan-lahan aku menindih tubuhnya. Mata kita saling berpandangan lagi. Bibirnya menyambut bibirku. Aku sudah sangat bernafsu, aku agak tidak menghiraukan permintaan hanya petting saja. Dina pun begitu diliputi hawa nafsu, desahannya semakin intens. Namun dia menghentikan ciuman dan menatap mataku.

"Digesekin aja ya Fer..", kata Dina mengingatkan.

"Aku udah gak tahan lho Din. Ntar kalo keenakan terus masuk gimana?", ledekku.

"Iiihhh... Ferryyy...", Dina tertawa kecil sambil mencubit lenganku.

"Aku yang nahan Fer, udah pengalaman...", lanjutnya.

"Tapi aku yang gak tahan. Apa gak usah aja?", kataku sambil berpura-pura beranjak dari badan Dina.

"Feeeeerrr....", Dina merengek dan kemudian menarik tanganku. 

Bibir kita berciuman lagi. Dina melebarkan kedua pahanya dan meraih penisku supaya tepat berada di depan bibir vaginanya. Kemudian dia menggesek-gesekkan sendiri kepala penisku dengan tangannya.

"Uuuuhhh... ssshh...", Dina mulai mendesah ketika aku menggerakkan pinggulku. 

Kedua tangannya kini merangkul leherku.

"Enak Din?",

Dia mengangguk dan ikut menggoyangkan pinggulnya.

"Feerr... Uuuhhh...", desah Dina diiringi kepalanya yang bergerak ke kiri dan ke kanan. 

Di bawah sana, kepala penisku hanya menggesek-gesek bibir vagina Dina yang sudah semakin basah. Ujungnya benar-benar tepat di lubang vaginanya, sehingga kalau aku nekat dan khilaf. perawan Dina bisa-bisa tembus oleh penisku.

"Aku ganti diatas aja Fer", kata Dina. 

Kita bertukar posisi, women on top. Dina menekan penisku tepat di vaginanya. Dia lalu mulai bergerak maju mundur. Payudaranya ikutan bergoyang.

"Aaassshhh... uuuhhh... Feeerrr...", mulut Dina mendesah semakin nyaring. 

"Feeerrrss... mainin tetek akuuu... ssshh...",

Tanganku lantas meraih dua buah payudara yang menggantung itu. Ternyata Dina semakin mempercepat gerakannya. Pinggulnya bergeak ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang. Mungkin sebentar lagi dia akan mendapatkan orgasmenya.

Aku sebenarnya juga sudah tidak tahan. Tapi sayang sekali kalau cuma petting saja membuat orgasme. Apalagi kali ini lawannya salah satu teman yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Otakku berputar mencari cara agar aktivitas tak terduga bersama Dina ini berkesan.

"Aaaaahhhh...!!!",

Desahan panjang dari Dina membuyarkan pemikiran-pemikiranku. Badannya mengejang beberapa saat kemudian melemas. Dina memeluk tubuhku. Dina sudah mendapatkan orgasmenya.

Nafas Dina masih memburu. Aku mengelus rambut hitam panjang miliknya. Cukup lama juga, kita diposisi seperti itu.

"Ferry belum keluar yah?",

"Belum Din. Tapi kalau kamu capek, ya gak pa-pa kok", aku mencoba mengerti walaupun sebenarnya merasa nanggung.

Dina mengubah posisi dan langsung memegang penisku yang masih tegang. Lagi-lagi tindakan tiba-tiba yang mengasyikkan, Dina melakukan blowjob. Kepalanya terlihat naik turun.

"Aasshhh...", aku hanya bisa mendesis seperti itu. 

Kemudian secara reflek aku memegang kapala Dina dan menahannya. Aku menggerakkan pinggul seoalah-olah aku sedang ML dengan mulut mungilnya.

Seketika Dina melepas emutannya dan melihatku. Aku agak kaget karena takut dia tidak suka ketika aku menahan kepalanya seperti tadi.

"Udah mau keluar? Jangan di mulut, gak suka", kata Dina.

"Terus dimana?"

Dina melanjutkan mengocok penisku. Kali ini lebih cepat. Aku yang sudah tidak tahan langsung mengejang hebat. 

Crut.. Crut.. Cret..!

Diiringi spermaku yang keluar dan muncrat hingga mengenai payudara Dina. Yang Kemudian dia menjilat penisku untuk dibersihkan sampai bersih.

"Capeeek...", kata Dina ketika sudah selesai. 

Dia langsung merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Yuk tidur... hehe.." Ucap Dina

"Pakai dulu bajunya.. ntar kamu kedinginan", kataku sambil mencoba beranjak dari kasur. 

Tapi tangan Dina menahan.

"Kan bisa minta peluk kamu", jawab dia sambil memelukku. 

Tiba-tiba tangannya iseng mengelus-elus penisku lagi. Mataku yang hampir terpejam menjadi sedikit melirik polah iseng Dina.

"Ntar kalau tegang lagi, aku masukin ke memek kamu lho..", ancamku.

"Mau dong, hihihi...", Dina malah menggodaku. 

Kemudian dia membalik badannya dan memunggungiku.

"Sabar ya Fer, ntar ada waktunya kok..", Dina menggumam.

Samar-samar aku mendengar kata-kata yang diucapkan Dina. Namun tidak terlalu yakin dengan maksud kata-kata itu. Perasaanku campur aduk, kaget, senang dan berharap bisa melakukan seperti  ini lagi bersama Dina.

Hampir dua minggu setelah peristiwa di rumah kontrakanku bersama Dina itu, kita tidak ada yang saling menghubungi. Entah via sms, bbm, ataupun lewat sosial media. Aku juga tidak terlalu ambil pusing karena tugas-tugas kuliah di kampus sudah mulai menyita pikiran.

Pikiran penat karena tugas kuliah, maka malam itu aku dan beberapa teman secara dadakan menuju ke Puncak, Bogor. Ternyata Hendro, salah satu temanku, mengajak Dina yang tadi kebetulan bertemu di kampus. Jadilah peserta rencana dadakan itu 4 cowok dan 2 cewek.

Aku dan Dina secara rahasia saling memberikan kode agar memilih duduk di jok belakang. Teman-temanku tidak ada yang curiga karena memang sudah saling kenal. Lagipula duduk di belakang dengan rute perjalanan menuju Puncak harus siap menghadapi jalan yang meliuk-liuk dan bisa membuat kepala pusing serta perut mual.

Selama diperjalanan kita banyak berbagi cerita. Semua bercerita mulai permasalahan kuliah hingga asmara. Lelucon-lelucon terus keluar dari percakapan kami.

Why don't we do it in the road...
Why don't we do it in the road...

Terdengar lagu The Beatles - Why Don't We Do It In The Road dari tape mobil milik Ryan. Aku meracuni teman-temanku, yang memang anak band ini, dengan lagu-lagu dari The Beatles supaya lebih luas wawasan musiknya.

"Tau gak, inspirasi lagu ini tuh monyet lagi kawin", kataku menjelaskan. 

Seisi mobil tertawa seolah tidak percaya dengan perkataanku. Aku menjelaskan bahwa ketika The Beatles sedang melakukan perjalanan spiritual ke India, Paul McCartney melihat monyet kawin dan menganggap itu sebagai hal yang umum yaitu kodrat sebagai makhluk hidup.

"Ada-ada aja ya inspirasinya", kata Septi yang duduk di jok depan sebagai co-driver Adi.

"Paul nyindir sih..", celetuk Hendro yang juga menyukai The Beatles.

"Nyindir gimana Ndro?", tanya Dina. 

Setauku Dina juga bisa bermain musik dengan baik.

"Gue baca-baca di forum Beatles bule gitu sih. Nyindirnya tuh orang-orang ngelakuin tindakan kriminal kayak bunuh, nyopet di muka umum. Padahal itu malu-maluin. Terus harus sembunyi-sembunyi buat ngeseks, padahal kan itu kodrat manusia agar berkembang biak", Hendro mendadak menjadi bijak.

"Pesan moralnya kalau mau gituan gak usah sembunyi-sembunyi", Ryan dengan absurd menerjemahkan petuah bijak dari Hendro tadi.

Aku hanya tersenyum kecil karena teringat malam bersama Dina. Mataku juga menangkap kalau Dina tersenyum mendengar kata-kata Ryan.

Akhirnya Kita sampai di kawasan Puncak sekitar pukul 11 malam dan langsung bercengkrama sambil menikmati makan dan minuman hangat. Dina duduk di depanku ketika kita makan dan di bawah meja aku merasakan kalau kakinya terus menggoda dengan menyentuh kakiku. Aku memperhatikan ekspresi wajahnya yang ternyata dia biasa saja, atau dia memang pandai mengatur ekspresi wajah ya. Aku semakin penasaran.


"Kamu tadi kenapa?", tanyaku ketika kita sudah selesai makan dan berencana tidur di mobil untuk menunggu sunrise.

"Dingin Fer, jadinya aku...", Dina tidak menyelesaikan jawabannya, hanya tersenyum nakal.

"Masa mau sembunyi-sembunyi dari anak-anak?", kataku yang langsung paham arah jawaban dia.

"Aku tahan deh, hihi..."

"Tapi katanya yang sembunyi-sembunyi itu lebih seru lho", godaku. 

Lagi-lagi Dina melemparkan senyum misteriusnya dan langsung duduk lagi di kursi belakang. Selama di dalam mobil, tangan kita saling berpegangan. Dina merapatkan duduknya kemudian menyandarkan kepalanya di pundak kananku.

Jadilah kita menghabiskan sisa malam dengan tiduran di dalam mobil. Aku merasa teman-temanku cepat sekali tertidurnya atau hanya aku saja yang merasa tidak tenang karena Dina menyandarkan kepalanya di pundakku. Dina sendiri juga masih belum tidur. Menyadari kesempatan ini, aku mencoba menyentuh pahanya. Tidak ada penolakan malah dia membalas menyentuh pahaku juga.

Sentuhannya perlahan dari bawah hingga ke pangkal pahaku. Terus seperti itu membuat darahku berdesir dan jantung berdetak cepat. Nafsuku perlahan naik, tanganku juga mulai nakal bergerak menuju pangkal paha Dina. Tapi ternyata ditahan olehnya. Kepalanya menggeleng tapi ada senyum di bibirnya.

Aku menjadi bingung, apa maunya dia. Tapi kebingunganku lenyap seketika karena jemari Dina dengan tangkas membuka ikat pinggang, zipper, dan akhirnya menggenggam penisku.

"Hmm...", aku menghela nafas berat, merasakan nikmat di penisku yang mulai dikocok oleh Dina.

Masih diliputi rasa khawatir, takut tiba-tiba teman-temanku menyadari kegilaanku dan Dina di jok belakang sehingga mataku mengawasi mereka. Konsentrasiku buyar lagi. Penisku terasa hangat dan basah. Oh, Dina melakukan blowjob.

"Ssshh...", aku mendesah pelan. 

Kepala Dina yang masih tertutup jilbab warna kuning itu terlihat naik turun melumat penisku. Variasi tangan dan mulut mungil Dina dalam melakukan blowjob benar-benar membuatku merasa nikmat. Tanganku yang awalnya mengelus-elus punggungnya kini berpindah memegang kepalanya.

Aku menggerakkan kepalanya naik turun lebih cepat. Lagi-lagi seperti bercinta dengan vagina tapi sebenarnya mulut Dina lah yang membuat nikmat penisku. Aku melepas salah satu tanganku dan bergerak meraba payudara Dina dari luar bajunya.

Dina berhenti sejenak dari aktivitas melumat penisku. Dia membuka beberapa kancing kemejanya agar memudahkanku menggerayangi payudaranya. Walaupun masih terbungkus bra, payudara yang kini aku pegang terasa empuk.

"Enngghhh...", Dina tiba-tiba lepas kontrol. 

Lenguhannya terdengar cukup keras. Tapi untung saja tidak membuat teman-temanku curiga. Mereka tetap tidur dengan nyenyak. Dina melanjutkan blowjob terhadap penisku. Semakin cepat dia melakukannya, semakin dekat pula orgasme yang akan aku dapatkan. Nafsuku benar-benar sudah di puncak. Tanganku semakin tidak karuan meremas payudara Dina.

"Sloops... Sloops... ", suara penisku yang semakin basah karena emutan yang dilakukan Dina. 

Semakin cepat dan akhirnya aku sudah tidak bisa menahan lagi. Reflek aku menahan kepala Dina ketika mendapatkan orgasme.

"Enngghhh...", desahku pelan.

Spermaku tertahan di mulut Dina. Cukup banyak juga yang keluar. Karena terlalu menikmati blowjob dari Dina dan mengejar orgasme, aku lupa kalau menahan kepala Dina, menyebabkan dia harus menerima spermaku di mulutnya. Begitu tersadar aku segera memperhatikannya.

Dina tampak tenang walaupun wajahnya menunjukkan dia juga terangsang. Tangannya mengambil tisu dan segera mengelap bibirnya. Aku baru menyadari kalau ternyata Dina menelan habis spermaku.

"Gimana rasanya?", tanyaku penasaran.

"Asin-asin gimana gitu", jawabnya. 

Dia masih tampak sibuk membersihkan tangannya dengan cairan sinitiser.

"Eh 1-0 ya, kamu utang ke aku", Dina meledek. Aku tertawa kecil mendengar itu.

"Dibayar sekarang aja gimana?"

"Enggak ah, nunggu di Bandung aja", jawabnya. 

Aku mengangguk menyetujui dan merapikan celanaku. Dina mencium pipiku dan kemudian kembali menyandarkan kepalanya di pundakku. "Why don't we do it in the road", gumamku. Kami benar-benar tertidur setelah itu.

Siang itu kita sudah di Bandung lagi. Dina meminta tolong aku untuk mengantarkan dia pulang ke rumahnya. Padahal dia bisa saja langsung diantar ketika pulang dari Puncak. Dalam perjalanan Dina memelukku erat sehingga sangat terasa payudaranya menempel di punggungku.

"Masuk dulu Fer..."

Dina mempersilakan aku masuk ke rumahnya. Segera aku duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Dina sendiri bergegas menuju dapur dan membuatkan aku minuman. Aku memperhatikan foto-foto yang tergantung di dinding. Kebanyakan di dominasi foto Dina dan adiknya, yang kalau tidak salah bernama Tari.

"Nih minumannya. Aku mau mandi dulu, kamu santai aja", kata Dina sambil menaruh gelas minuman di meja.

"Kok sepi Din, lagi pada ke mana?"

"Mama ada kok, lagi tidur siang"

Aku mengangguk mendengar jawaban itu. Kemudian Dina pamit untuk mandi. Aku mengira kalau rumah Dina sedang tidak ada orang selain kami berdua. Sehingga aku bisa membalas kenikmatan yang diberikan Dina ketika di Puncak tadi malam.

Setengah jam berlalu Dina keluar dari kamar dengan pakaian rumah yang lebih santai tapi tetep menggunakan jilbab. Kaos berwarna putih dengan gambar bendera Inggris dan celana panjang seperti piyama serta jilbab berwarna coklat krem. Dina membawa handuk dan diserahkan kepadaku.

"Kamu mandi gih biar segeran"

"Ah gak usah deh"

"Buruan!", perintah Dina dengan sedikit memaksa. 

Aku mengalah dan segera menuju kamar mandi yang ditunjukkan oleh Dina. Benar juga kata Dina, aku merasa segar setelah mandi. Mungkin sedikit menghilangkan capek setelah perjalanan dadakan semalam bersama teman-temanku. Dina menungguku sambil bermain keyboard yang ada di ruang tamu. Begitu melihatku menuju ruang tamu, Dina menghentikan permainannya dan duduk di sofa. Aku langsung duduk di sampingnya.

"Seger kan?", tanya Dina. 

Aku mengangguk. Tangan kami saling berpegangan. Kemudian Dina memelukku.

"Ntar kalau dilihat mama gimana?", aku berhak khawatir akan situasi ini.

"Mama lagi tidur siang, nggak pa-pa kok", jelas Dina.

Dengan jawaban seperti itu, berarti rencana yang sempat terlintas di pikiranku bisa dilaksanakan. Aku membalas pelukan Dina sambil mencium kepalanya yang tertutup jilbab.

"Dina, aku boleh bayar utang gak?", tanyaku sambil tersenyum.

"Baru mau aku tagih, hihi...", Dina tertawa kecil. 

"Yuk ke kamar aku aja", kemudian dia mengajakku menuju kamarnya.

Ruangan berukuran sekitar 4x4 meter itu bersih dan rapi. Ya jelas, kamar cewek pasti rapi dan wangi. Sprei warna hijau menutupi kasur di kamar Dina. Di sudut yang lain ada meja yang mungkin digunakan untuk belajar.

Aku menarik tubuh Dina sehingga saling berhadapan, bibir kita langsung berpagutan. Nafsu yang sudah kami tahan semalaman akan dilampiaskan siang ini. Dina mengimbagi ciumanku dengan menjulurkan lidahnya, mengaitkannya dengan lidahku.

"Sssshhh...", suara desahan yang keluar dari sela-sela aktivitas ciuman kami. 

Tanganku mulai mengelus punggung Dina, turun menuju pantat yang cukup menggairahkan walaupun masih tertutup celana tipis itu.

Dina mengajakku untuk merebahkan badan di atas tempat tidurnya. Posisi kami masih berpelukan dengan bibir yang masih saling melumat dan tangan yang saling meraba tubuh satu sama lain.

"Feeerrr...uuhhh...", Dina melenguh ketika aku mulai meremas payudaranya. 

Masih terasa payudaranya terbungkus bra. Tangannya menarik kaos yang kugunakan agar terlepas. Dan setelah itu Dina lantas menelanjangiku.

"Nggak usah dilepas jilbabnya biar gitu aja", kataku kepada Dina.

"Kenapa?"

"Biar makin menggairahkan", jelasku. 

Dina tertawa mendengar alasanku. Kemudian aku membantunya melepas kaos sekaligus branya. Terpampang payudaranya yang masih kencang dengan putting berwarna coklat.

"Uuhhhh...ssshhh...", Dina mendesah saat mulutku mulai menjilat putting payudaranya. 

Kemudian Dina kembali merebahkan badannya sehingga memudahkanku untuk meremas payudaranya. Secara bergantian aku remas payudaranya yang kiri dan kanan sambil diselingi menjilat puttingnya yang sudah mulai tegang.

Tangan Dina mulai meraih penisku yang sudah tegang. Perlahan penisku dikocok oleh tangan lembut Dina. Aku merasakan geli, apalagi ketika jarinya mempermainkan ujung penisku yang telah basah oleh cairan pre-cum.

Tidak mau kalah, akhirnya aku mencoba melepas celana kain yang dipakai Dina sekaligus dengan celana dalamnya. Dina tidak menolak, malah menaikkan pantatnya. Jadilah kita telanjang bulat. Kini aku mulai menjelajahi tubuh Dina dengan bibirku. Aku ingin membayar utang kenikmatan yang diberikan Dina padaku semalam. 

Ciumanku mulai dari bibirnya menuju ke gundukan payudaranya dengan putting yang sudah tegang, turun lagi ke perutnya yang rata, pinggulnya yang kecil dan berhenti tepat di vaginanya. Aroma khas vagina yang tercium membuatku tanpa ragu langsung menjilati vagina Dina.

"Aaaaaahhh...Feeeerrr...", Dina mendesah lumayan keras. 

Tangannya makin menekan kepalaku agar terus menjilati vaginanya.

"Sluurrrp...", suara yang menandakan Dina sudah sangat terangsang di vaginanya. 

Cairannya sudah banyak yang keluar. Aku masih meneruskan jilatanku dengan variasi sedotan ke vaginanya. Tidak lama kemudian,

"Udaah Feerrr... Aaahh... Udaaaahh...", Dina makin membenamkan kepalaku di vaginanya. 

Badannya bergetar hebat dan cairan orgasmenya keluar cukup banyak.

"Udah impas ya, 1-1", aku meledek Dina yang masih menikmati orgasmenya. 

Nafasnya masih memburu dan butiran keringat sudah terlihat di beberapa bagian tubuhnya, begitu juga aku.

"Yakinh.. cuma mau 1-1 ajaahh?", tanya Dina dengan nafas yang masih terengah-engah. 

Dadanya terlihat naik turun dan matanya masih sayu. Sisa orgasme yang dia dapatkan masih membuatnya melayang.

"Kamu mau digesekin lagi kayak dulu?"

Dina hanya menarik tanganku agar tubuhku menindih tubuhnya yang telanjang tapi kepalanya masih tertutup jilbab. Bibir kita berciuman. Tangan kita saling menjamah satu sama lain. Tangan Dina mengacak-acak rambutku karena udah semakin bernafsu, sedangkan tanganku mulai meremas payudaranya. Dina membuka lebar pahanya.

Tangan kananku bergerak menuju vaginanya yang masih basah. Mengusap dengan lembut agar semakin siap untuk digunakan walaupun pada akhirnya hanya digesekkan menggunakan penisku. Dina juga tidak tinggal diam. Nafsunya kembali bangkit dan tangannya meraih penisku.


Badan kami sudah saling menindih dan bersiap melakukan petting seperti yang sudah kami lakukan sebelumnya. Ternyata Dina begitu lebar membuka pahanya hingga bibir vaginanya sedikit terbuka. Kemudian dia menggesekkan penisku tepat di bibir vaginanya dan kepala penisku sedikit masuk.

"Uuuuhhh...", Dina mendesah lagi.

Aku yang sedang mencumbu payudaranya berhenti. Dina membuka kedua matanya dan seolah bertanya kenapa berhenti.

"Din, digesekin kayak yang dulu kan?", aku bertanya dengan polos.

"Kamu maunya digesekin aja?", Dina menggoda. 

Gerakan pinggulnya membuat penisku seperti melakukan penetrasi ke vaginanya.

"Pengennya ya dimasukin Din, hehe..."

"Masukin aja Fer, nggak pa-pa....", jawab Dina sambil matanya terpejam.

Tanpa menunggu perintah kedua, aku melakukan penetrasi ke vagina Dina. Sempit sekali, maklum masih perawan. Dina meringis menahan sakit ketika kepala penisku secara perlahan mulai masuk.

"Aarghh... Pelan-pelan Fer, sakiit...", Dina mengaduh tapi tangannya menekan pantatku agar tetap melakukan penetrasi sedangkan dia makin membuka lebar pahanya dan menaikkan pinggulnya.

"Sakit banget yah?"

Dina mengangguk. Aku mencium lagi bibirnya. Kini lebih lembut agar dia merasa tenang dan menjadi lebih berkesan. Jilbab yang ia kenakan sudah mulai basah karena keringat. Perlahan sangat pelan, penisku mulai masuk liang vagina Dina. Kuperhatikan lagi wajahnya meringis kesakitan tapi tidak meminta berhenti. Aku tarik keluar penisku. Tiba-tiba...

"Aaahhh... Feeer, teruuusiiin ajaa...", Dina menjerit kesakitan. 

Tapi malah menyuruhku memasukkan semakin dalam. Akhirnya aku paksa dengan sekali tusukan. Penisku seluruhnya berada di dalam vagina Dina. Aku mengambil perawannya. Kuperhatikan wajah yang kini ada di depan mataku. Matanya terpejam seperti merasakan sesuatu yang berbeda dan aku melihat tidak ada penyesalan. Bibir kami langsung beradu setelah beberapa saat saling diam karena merasakan betapa dahsyatnya alat kelamin ini bersatu. Tidak lama kemudian, aku mulai menggerakkan pinggulku.

"Ssshhh...Feerrs... Pelaaan-pelaaan... Uuuuhhh...", Dina mengeluarkan suara desahan yang membangkitkan gairah.

"Aaaahhh.. Iyaa Diiiinnn... Aaaahhhh...", suaraku tertahan.

Aku menggerakkan pinggulku dimulai dari tempo yang lambat. Vagina Dina begitu sempit dan penisku serasa terjepit. Secara perlahan aku meningkatkan tempo genjotanku. Sepertinya Dina sudah bisa menikmati persetubuhan ini.

Nafsuku semakin meninggi tatkala menatap wajah Dina. Memang bukan salah satu obsesiku bercinta dengan wanita berjilbab tapi saat ini aku menemukan nikmatnya bercinta dengan kondisi yang seperti itu. Dengan jilbab yang masih terpasang, raut muka yang menahan nikmat, desahan yang terus keluar dari mulut, aku benar-benar bernafsu. Ingin rasanya berlama-lama menikmati tubuhnya. Dina benar-benar menggairahkan.

"Ssshhh... Aahhh... Feeeerrr... Cepeeetiiiinn...", Dina semakin bernafsu. 

Pinggulnya ikut bergerak dan kedua kakinya melingkar di pantatku.

"Aaaahhh...aaahhh...aaahhh...", suara desahan Dina menjadi lebih kenceng. 

Dia berinisiatif mencium bibirku agar suara desahannya teredam dan tidak membangunkan mamanya yang sedang tidur siang. Ciuman kami semakin liar, lidah saling beradu, liur bertukar, dada saling bersentuhan, semuanya kami lakukan untuk memburu puncak ternikmat hubungan intim ini.

"Feeeerrryyy... Eeennggghhh...", Dina menjerit kecil tanda orgasmenya telah datang. 

Kakinya mengunci pantatku agar penisku menghujam semakin dalam ke liang vaginanya. Pinggulnya masih bergerak liar, membuatku sudah tidak bisa menahan lagi.

"Aaaaahhh... Keluuuarrr... Dinnhhh...", desahku sambil badanku mengejang seperti tersengat listrik. 

Tembakan berjuta sel sperma dari penisku memenuhi vagina Dina. Aku tidak sempat mengeluarkan penisku dari dalam vaginanya karena kedua kaki Dina masih menahan pantatku.

Nafas kami perlahan mulai normal. Masih belum ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Mataku sempat melirik wanita yang kini berada di bawah tubuhku. Ada sedikit sesal yang tiba-tiba muncul. Bukan, bukan karena telah mengambil mahkota keperawanan Dina, walaupun itu juga yang menjadi pikiranku, yang nomor dua, hehe... Pembelaanku karena Dina juga menginginkannya. Ibarat kucing (garong) diberi daging pasti dimakan, hehe..

Aku sadar bahwa penisku telah menembak sperma di dalam vagina Dina. Tapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Biarlah nanti masalah yang akan terjadi setelahnya dibicarakan bersama-sama.

Dina membelai rambutku dengan lembut. Degup jantungku yang kencang karena kekhawatiran itu sepertinya dirasakan olehnya juga. Kemudian dia mencium keningku.

"Aku aman kok Fer, tenang aja...", kata-kata itu keluar dari mulut Dina. 

Bibirnya tersenyum lebar. Aku mencoba mencari keyakinan dari kata-kata itu. Dan dari matanya, dia tidak berbohong. Aku hanya mengangguk.

"Nyesel?", tanyaku sambil membelai kepalanya yang masih tertutup jilbab. 

Dia menggeleng cepat. Alat kelamin kami telah terlepas. Kini aku merebahkan diri di sampingnya. Rasa kantuk menyerangku tapi kondisi di rumah Dina tidak begitu aman, ada mamanya yang mungkin masih tertidur. Dina beranjak dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaian. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Why don't we do it in the road...", kataku sambil mencium keningnya ketika kami berdua keluar dari kamar. 

Dina tersenyum dan membalasnya dengan mengecup pipiku.

"Kak Dinaa, temennya diajak makaaan...", suara Tari, yang entah sejak kapan sudah berada di rumah, terdengar dari arah dapur. 

Dina bergegas menuju ke sana, sedangkan aku duduk di sofa ruang tamu menghabiskan sisa minuman yang tadi kutinggalkan.

back to top